IMPLIKASI ASSESSMENT DAN DIAGNOSIS PADA ANAK PENDERITA GANGGUAN PENDENGARAN TERHADAP TREATMENT DAN PENDIDIKANNYA - Melly Latifah

IMPLIKASI ASSESSMENT DAN DIAGNOSIS PADA ANAK PENDERITA GANGGUAN PENDENGARAN TERHADAP TREATMENT DAN PENDIDIKANNYA

oleh :

MELLY LATIFAH
(April, 2010)

Department of Family and Consumer Sciences
Faculty of Human Ecology
Bogor Agriculture University

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Di Indonesia, belum pernah dilakukan survei nasional untuk mencacah penderita gangguan pendengaran, sehingga secara statistik, jumlah anak penderita gangguan pendengaran di Indonesia tidak diketahui dengan pasti. Padahal, di Inggris, pendataan ini sudah dilakukan sejak lama. Sebagai contoh, data dari Departemen Pendidikan dan Ilmu Pengetahuan Inggris tahun 1968, dapat diketahui bahwa jumlah penderita gangguan pendengaran di Inggris diperkirakan 16,68 per sepuluh ribu orang. Jumlah tersebut hanya mencakup siswa-siswa tuli, penderita gangguan pendengaran sebagian dan siswa-siswa yang memakai alat bantu dengar di sekolah-sekolah khusus dan sekolah-sekolah umum (Mittler, 1974). Departemen Pendidikan Amerika Serikat melaporkan bahwa pada tahun 1987-1988, jumlah siswa penderita gangguan pendengaran sebanyak 0,12 %. Jumlah tersebut meliputi siswa-siswa tuli dan siswa-siswa yang mengalami kesulitan mendengar dari populasi siswa yang berumur 6-17 tahun (Hallahan dan Kauffman, 1991). Prevalensi penderita gangguan pendengaran di Indonesia diduga lebih besar dari prevalensi di Inggris dan Amerika Serikat saat ini, mengingat taraf hidup masyarakat Indonesia yang lebih rendah jika dibandingkan kedua negara tersebut.

Gangguan pendengaran merupakan hambatan besar bagi perkembangan bahasa seorang anak. Padahal, peran bahasa sangatlah penting, khususnya untuk aktivitas yang berkaitan dengan pendidikan di sekolah. Para pendidik pun yakin bahwa perkembangan sosial dan intelektual anak berkaitan erat dengan masalah-masalah gangguan pendengaran yang dideritanya, yang menyebabkan kurangnya kemampuan anak dalam berbahasa (Hallahan dan Kauffman, 1991).

Mengingat pentingnya perkembangan bahasa bagi perkembangan anak- khususnya perkembangan sosial dan intelektual - dan mengingat pentingnya potensi sumberdaya manusia - penderita gangguan pendengaran sekalipun – bagi pembangunan, maka assessment dini anak-anak untuk menentukan keadaan pendengarannya sejak usia dini perlu dipertimbangkan untuk dilakukan di Indonesia. Sebagai langkah awal, assessment ini dapat dilakukan di Posyandu-posyandu, Taman Kanak-kanak dan Sekolah Dasar. Dengan demikian, dapat diketahui jumlah anak penderita gangguan pendengaran sejak dini sehingga pemerintah dapat segera melakukan antisipasi bagi pendidikan mereka guna mengembangkan potensi yang mereka miliki sedini mungkin.

Tulisan ini akan membahas tentang bagaimana melakukan assessment dan diagnosis pada anak-anak penderita gangguan pendengaran serta bagaimana implikasinya terhadap treatment dan pendidikan mereka. Tulisan ini terdiri dari lima bagian. Bagian pertama akan membahas tentang pendefinisian dan pengklasifikasian yang umum digunakan untuk gangguan pendengaran; bagian kedua akan menjelaskan anatomi dan fisiologi telinga; bagian ketiga akan membahas tentang assessment dan diagnosis pada anak-anak penderita gangguan pendengaran; dan bagian keempat akan membahas treatment dan pendidikan bagi anak-anak penderita gangguan pendengaran; dan bagian kelima merupakan kesimpulan dan saran.

Tujuan Penulisan

Tulisan ini diharapkan bermanfaat bagi para orang tua dan pendidik, khususnya orang tua dan pendidik anak berkebutuhan khusus, dan para pembuat kebijakan di bidang pendidikan, khususnya kebijakan bagi anak berkebutuhan khusus, dalam menangani masalah anak-anak berkebutuhan khusus, terutama anak-anak penderita gangguan pendengaran.

DEFINISI DAN KLASIFIKASI GANGGUAN PENDENGARAN

Untuk melakukan assessment terhadap anak penderita gangguan pendengaran perlu diketahui terlebih dahulu beberapa definisi dan sistem pengklasifikasian gangguan pendengaran. Pengetahuan ini akan membantu para pendidik atau yang berkepentingan dalam melakukan assessment terhadap anak penderita gangguan pendengaran.

Ada beberapa definisi dan sistem pengklasifikasian bagi gangguan pendengaran. Oleh para ahli, gangguan pendengaran diklasifikasikan antara ketulian dan kesulitan mendengar dengan beberapa terminologi. Dalam pendefinisian dan pengklasifikasiannya, ada dua kelompok yang mempunyai pandangan berbeda, yaitu kelompok yang berorientasi fisiologis dan kelompok yang berorientasi pendidikan (Hallahan dan Kauffman, 1991).

Pandangan fisiologi terutama terfokus pada pengukuran tingkat hilangnya pendengaran. Anak yang tidak dapat mendengar suara pada atau di atas tingkat intensitas tertentu, diklasifikasikan sebagai tuli, sedangkan yang lainnya diklasifikasikan sebagai kesulitan mendengar. Dalam hal ini, sensitivitas pendengaran diukur dalam desibel (dB). Titik di mana orang berpendengaran normal dapat mendeteksi suara yang paling lemah ditetapkan sebagai 0 (nol) dB; 90 dB atau lebih ditetapkan sebagai tuli; kurang dari 90 dB ditetapkan sebagai sulit mendengar.

Pandangan kelompok yang berorientasi pendidikan lebih memperhatikan seberapa banyak hilangnya pendengaran dapat mempengaruhi kemampuan anak untuk berbicara dan mengembangkan bahasa. Mengingat ada hubungan yang erat antara hilangnya pendengaran dan kelambatan perkembangan bahasa, maka para ahli kelompok ini kemudian mengklasifikasikan gangguan pendengaran terutama berdasarkan pada kemampuan bahasa yang diucapkan. Beberapa definisi yang diterima oleh penganut pandangan pendidikan adalah sebagai berikut:
  1. Gangguan pendengaran adalah istilah generik yang mengindikasikan ketidakmampuan mendengar yang bervariasi tingkat keparahannya, mulai dari ringan sampai berat, termasuk ketulian dan kesulitan mendengar.
  2. Orang tuli yaitu orang yang tidak mampu mendengar sedemikian rupa sehingga menghalangi keberhasilan pemrosesan informasi linguistik melalui pendengaran dengan atau tanpa alat bantu dengar.
  3. Orang dengan kesulitan pendengaran yaitu orang yang dengan menggunakan alat bantu dengar mempunyai pendengaran sisa yang cukup untuk dapat memproses informasi linguistik melalui pendengaran (Brill, Newman, 1986 dalam Hallahan dan Kauffman, 1991).
Para ahli menemukan adanya hubungan yang erat antara hilangnya pendengaran dengan keterlambatan berbahasa. Oleh karena itu, kapan munculnya gangguan pendengaran menjadi sangat penting. Semakin awal anak mengalami kehilangan pendengaran, semakin sulit baginya untuk mengembangkan bahasa. Untuk alasan ini, para ahli sering menggunakan istilah ketulian kongenital bagi ketulian yang diperoleh anak sejak lahir dan ketulian yang diperoleh bagi ketulian yang diperoleh setelah lahir. Istilah lain yang lebih spesifik yang sering digunakan adalah:
  1. Prelingual deafness, yaitu ketulian yang terlihat pada waktu lahir atau terjadi pada usia dini sebelum kemampuan bicara atau bahasa berkembang.
  2. Postlingual deafness, yaitu ketulian yang terjadi pada usia berapa saja setelah kemampuan bicara dan bahasa berkembang (Brill, MacNeil dan Newman, 1986 dalam Hallahan dan Kauffman, 1991). 
Ada ketidaksamaan pendapat dalam menentukan titik batas antara pre dan post pada pendefinisian tersebut. Beberapa orang berpendapat bahwa titik batasnya sekitar 18 bulan, sementara yang lain yakin titik batasnya lebih rendah dari itu, yaitu kurang lebih 12 bulan atau bahkan 6 bulan (Meadoworlans, 1987 dalam Hallahan dan Kauffman, 1991).

Bila dikaitkan dengan perkembangan bahasa, klasifikasi yang lebih leluasa tidak langsung tergantung pada sensitivitas pendengaran, tapi pada tingkat mana bicara dan bahasa terpengaruh (Hallahan dan Kauffman, 1991). Oleh karena itu, dalam pengklasifikasian sebaiknya digunakan pandangan yang berorientasi pendidikan.

ANATOMI DAN FISIOLOGI TELINGA

Anatomi dan Fisiologi telinga - alat penting dalam proses mendengar - perlu diketahui untuk melakukan diagnosis yang tepat terhadap anak penderita gangguan pendengaran. Untuk itu, dalam bab ini akan dibahas tentang anatomi dan fisiologi telinga secara ringkas.

Tiga elemen yang membentuk mekanisme pendengaran adalah telinga bagian luar, telinga bagian tengah dan telinga bagian dalam. Telinga bagian luar merupakan bagian paling sederhana dan kurang penting dalam pendengaran dibandingkan dua bagian lainnya, sedangkan telinga bagian dalam merupakan bagian terumit dan terpenting (Hallahan dan Kauffman, 1991).

Telinga bagian luar terdiri atas daun telinga (auricle), dan saluran pendengaran luar yang berakhir pada gendang telinga (membran timpani) yang membatasi telinga bagian luar dan tengah. Peranan telinga bagian luar dalam mentransmisikan suara relatif kecil. Suara “dikumpulkan” oleh daun telinga dan disalurkan melalui saluran pendengaran luar ke gendang telinga. Suara tersebut menggetarkan gendang telinga sehingga gelombang suara dapat dikirim ke telinga bagian tengah.

Telinga bagian tengah terdiri atas gendang telinga dan tiga osikel yang disebut maleus (tulang martil), incus (tulang landasan) dan stapes (tulang sanggurdi). Rangkaian dari ketiga tulang ini menghantarkan getaran dari gendang telinga menuju oval window yang menghubungkan telinga bagian tengah dan dalam. Untuk mencegah hilangnya energi getaran antara gendang telinga dan oval window, rangkaian ketiga tulang kecil tersebut dikonstruksi sedemikian rupa sehingga dapat memanfaatkan hukum fisika pengungkitan. Dengan demikian, dapat terjadi pemindahan energi yang efisien dari rongga udara di telinga bagian tengah ke telinga bagian dalam yang lebih padat dan berisi cairan (Davis, 1978; Martin, 1986 dalam Hallahan dan Kauffman, 1991).

Telinga bagian dalam terdiri dari bagian-bagian yang dapat bergerak yang disebut labirin dan berukuran kira-kira sebesar kacang polong. Telinga bagian dalam terdiri dari vestibule dan cochlea. Vestibule berfungsi untuk keseimbangan (sense of balance) dan sangat peka terhadap segala hal seperti, gerakan kepala, posisi kepala dsb. Informasi yang ditampilkan gerakan-gerakan akan dikirim ke otak melalui syaraf vestibular. Sementara itu, Cohlea (rumah siput) berfungsi untuk mengubah aksi mekanikal dari telinga bagian tengah ke dalam bentuk tanda-tanda elektrikal di telinga bagian dalam yang kemudian ditrasmisikan ke otak.

Pada telinga yang berfungsi normal, suara menyebabkan tulang martil, tulang landasan dan tulang sanggurdi bergerak. Gerakan tulang sanggurdi mendorong oval window ke dalam dan ke luar, yang menyebabkan cairan dalam cochlea mengalir. Gerakan cairan menyebabkan terjadinya rangkaian peristiwa rumit yang mengakibatkan eksitasi dari syaraf cochlear. Dengan stimulasi dari syaraf ini, dorongan elektrik dikirim ke otak melalui syaraf vestibular dan suarapun kemudian terdengar.

ASSESSMENT DAN DIAGNOSIS

Menurut Cartwright, Cartwright dan Ward (1984), assessment adalah proses mengumpulkan informasi untuk menentukan keputusan. Yang dimaksud assessment dalam hal ini yaitu melakukan penilaian terhadap pendengaran seorang anak berdasarkan informasi dan hasil pengujian sehingga dapat ditentukan apakah anak dapat dikategorikan menderita gangguan pendengaran ataukah tidak, dan bila terbukti benar, gangguan pendengarannya termasuk klasifikasi yang mana. Hasil assessment ini menentukan bentuk pendidikan yang tepat bagi penderita gangguan tersebut. Sementara itu, yang dimaksud diagnosis dalam hal ini yaitu penilaian lebih lanjut untuk menentukan penyebab gangguan pendengaran pada anak penderita gangguan pendengaran agar dapat dilakukan treatment yang sesuai untuk memperbaiki atau meningkatkan pendengaran anak tersebut. Dengan demikian, assessment dilakukan sebelum tahap diagnosis. 

Menurut Hallahan dan Kauffman (1991), ada tiga tipe umum dalam uji pendengaran, yaitu pure-tone audiometry, speech audiometry, dan uji khusus bagi anak yang kecil dan sulit untuk diuji. Dalam melakukan assessment, penguji atau audiologis dapat memilih satu diantaranya atau kombinasi dari ketiga uji tersebut.

Dengan pur-tone audiometry dapat ditetapkan ambang batas pendengaran anak yang diukur berdasarkan frekuensi (dalam satuan Hertz) dan intensitas (dalam satuan decibel) suara terkecil yang mampu didengarnya. Setelah ambang batas pendengaran anak diketahui, dilakukan pengklasifikasian tingkat pendengaran anak.

Dengan speech audiometry dapat ditentukan sejauh mana anak mampu mendeteksi dan memahami pembicaraan seseorang. Untuk mengetahui deteksi bicara anak, ditentukan ambang batas suara terendah (dalam satuan dB) dimana anak dapat mendeteksi adanya pembicaraan, tanpa memperhatikan apakah anak memahami atau tidak pembicaraan tersebut. Untuk mengetahui pemahaman anak terhadap pembicaraan ditentukan ambang batas suara terendah (dalam satuan dB) dimana anak dapat memahami pembicaraan- dikenal sebagai speech reseption threshold (SRT) – dan untuk uji itu digunakan daftar dua suku kata yang diperdengarkan pada telinga kiri dan kanan secara terpisah. Tingkat desible dimana seseorang memahami setengah kata yang diperdengarkan itu, ditentukan sebagai perkiraan tingkat SRT.

Bagi anak yang masih kecil dan sulit untuk diuji dengan menggunakan kedua cara yang telah disebutkan terdahulu, dapat digunakan uji play audiometry, reflex audiometry dan evoked response audiometry. Dalam play audiometry, anak diuji kemampuan pendengarannya dalam situasi bermain sedemikian rupa sehingga penguji dapat mencatat respon anak terhadap stimulus suara yang diciptakan penguji. Dalam reflex audiometry, anak, umumnya bayi, diuji perilaku refleksnya terhadap stimulus suara, dimana respon bayi dapat ditunjukkan dengan gerakan wajah, tubuh, kaki dengan dan mata serta respon menoleh kepada sumber suara. Dalam evoked-response audiometry, perubahan aktivitas gelombang otak anak diukur dengan menggunakan electroencephalograph (EEG).

Setelah dilakukan uji pendengaran, dapat ditentukan klasifikasi tingkat pendengaran dan fungsi pendengaran anak. Hasil assessment ini dijadikan dasar bagi perlu tidaknya dilakukan diagnosis serta dasar bagi penentuan jenis treatment dan pendidikan yang tepat bagi anak yang bersangkutan.

Menurut Salvia dan Ysseldyke (1981) dalam Cartwright, Cartwright dan Ward (1984), selain tingkat dan fungsi pendengaran, informasi lain yang perlu digali dalam assessment ini adalah prestasi akademik (bagi anak yang sudah bersekolah), hasil tes IQ, perilaku adaptif, kepribadian dan kesiapan bersekolah. Untuk Indonesia, informasi-informasi tersebut - kecuali prestasi akademik jika memang ada - mungkin dirasa terlalu mahal, kecuali untuk kelompok ekonomi menengah ke atas. Oleh karena itu, pada tahap gerakan awal, informasi tentang tingkat dan fungsi pendengaran, serta tambahan informasi lainnya seperti frekuensi terjadinya perilaku yang menunjukkan kesulitan mendengar, kejadian-kejadian kritis dan riwayat penyakit yang berpotensi mengganggu pendengaran serta berat badan waktu lahir mungkin sudah cukup memadai sebagai dasar penilaian bagi anak-anak di Indonesia.

Menurut Cartwright, Cartwright dan Ward (1984), klasifikasi menurut tingkat fungsi pendengaran biasanya lebih membantu dalam penentuan rencana dan pemberian program pendidikan bagi anak penderita gangguan pendengaran. Oleh karena itu untuk tujuan pendidikan, dianjurkan untuk memakai klasifikasi seperti yang disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1

Tingkat Pendengaran (dB)Karakteristik fungsi pendengaran
0-24Pendengaran normal
25-35Kesulitan dengan suara bicara yang lemah; dan kesulitan membedakan dalam kombinasi-kombinasi suara tertentu
36-54Kesulitan dengan suara bicara yang lembut atau lemah; dan kesulitan dalam mendengar suara bicara dari jauh
55-69Kesulitan dengan suara bicara yang kuat dan lembut, pembicaraan telepon serta kesulitan memahami pembicaraan orang asing (belum terbiasa)
70-89Dapat mengidentifikasi vokal tetapi mengalami kesulitan dengan konsonan; dapat mendengar jika pembicaraan didekatkan ke telinga atau diperkeras; kemungkinan mengalami kemunduran dalam berbicara jika tidak ada monitoring atau terapi
90 atau lebihGangguan parah; dapat mendengar jika suara keras; harus mengandalkan orang lain untuk mendengar; bagi ketulian prelingual, kemungkinan mempunyai kualitas bicara yang buruk; bagi ketulian postlingual beresiko mengalami kemunduran bicara jika tidak dimonitoring

Mengingat tidak semua orang tua memiliki kesadaran atau kemampuan untuk memperhatikan kondisi pendengaran anaknya dan mengingat pentingnya intervensi sedini mungkin terhadap anak penderita gangguan pendengaran, maka pemerintah harus membantu mengupayakan penjaringan penderita gangguan pendengaran pada usia anak sedini mungkin. Di Indonesia, penjaringan ini dapat dilakukan melalui Posyandu, Taman Bermain, dan Taman Kanak-kanak. Dengan demikian anak-anak penderita gangguan pendengaran dapat disiapkan sedini mungkin untuk memasuki sekolah. Penjaringan ini diharapkan dilakukan paling lambat pada usia sekolah dasar. Untuk melakukan penjaringan tersebut, bersama-sama dengan para ahli, para guru di lembaga-lembaga pendidikan tersebut perlu dilibatkan.

Dalam hal ini, pentingnya dilakukan assessment sedini mungkin adalah agar dapat dilakukan intervensi sedini mungkin. Menurut Cartwright, Cartwright dan Ward (1984), bila pada anak penderita gangguan pendengaran dilakukan stimulasi yang tepat sedini mungkin, maka kemampuan bahasanya dapat dikembangkan sedini mungkin pula. Sementara itu, diketahui pula bahwa kekurangan dalam bahasa dapat menyebabkan kurangnya kemampuan konseptual (Hallahan dan Kauffman (1991) yang berimplikasi pada rendahnya kemampuan intelektual.

PENUTUP

Upaya penjaringan yang telah diutarakan di atas mungkin tidak terlalu mudah bagi pemerintah Indonesia karena diperlukan tenaga ahli dan biaya yang tentu saja tidak sedikit. Akan tetapi, seandainya upaya ini dapat dilakukan, pemerintah dapat memetik banyak keuntungan dari pengembangan potensi sumberdaya manusia penderita gangguan pendengaran. Selain itu, kemampuan mereka untuk mandiri dapat mengurangi beban yang selama ini dipikul oleh pemerintah dan orang tua atau keluarga penderita gangguan pendengaran.

3 komentar:

Anonim mengatakan...

Dalam kenyataan kita memang harus lebih bisa berlapang dada menghadapi anak-anak berkebutuhan khusus ini, sambil terus mengupayakan yang terbaik buat semua kita.

Plea mengatakan...

We were hoping to get that basic data so we could at least get in there and get started

ti mengatakan...

Terima kasih Ibu Melly L, sdh memberikan informasi dan perhatian kpd anak2 berkebutuhan khusus, kami sebagai ortu sangat "buta" terhadap mslh yg kami hadapi, kalo harap pemerintah mungkin butuh waktu 10-20 tahun lagi, soalnya org sehat saja kurang diperhatikan apalagi yg gini2

Tapi setelah membaca apa yg disampaikan Ibu, sdh sangat membantu, terima kasih

Entri Populer